Penjaga gawang Arema orang terakir yang ada di lapangan menuju ruang ganti sempat di kepung penonton
Jakarta, posbanten.com
Aldison Maringa penjaga gawan asal Brazil,” melihat 2 anggota polisi mati di injak injak suporter ketika mengamankan dirinya. Melihat mayat bergelimpangan seperti melihat bangkai. Mengerikan.
Penjaga gawang Arema orang terakir yang ada di lapangan menuju ruang ganti sempat di kepung penonton Jac Mania, Maringá melihat jelas 2 anggota polisi yang mengamankanya mati di injak injak penonton di depan matanya.
Maringa mengaku kehilangan gairah untuk bermain sepakbola setelah menyaksikan pemandangan memilukan di Stadion Kanjuruhan.
Penjaga gawang Arema FC Adilson Maringa mengaku sulit menghilangkan trauma tragedi Stadion Kanjuruhan akhir pekan kemarin yang menyebabkan 125 suporter dan dua polisi harus kehilangan nyawa.
Maringa tidak menyangka kekalahan 3-2 dari Persebaya Surabaya berakhir dengan tragedi memilukan. Menurut Maringa, derbi Jawa Timur berlangsung dengan normal sepanjang 90 menit.
Begitu juga beberapa saat setelah pertandingan berakhir ketika pemain berkumpul untuk memberikan salam.
“Tak lama kemudian, kami melihat fans mulai menginvasi lapangan. Polisi meminta kami untuk meninggalkan lapangan, dan menuju kamar ganti.
Kami berjalan normal saja. Namun invasi makin membesar, dan polisi sulit untuk menahannya,” cerita Maringa kepada laman Globo.
“Jika Anda melihat di Video, Anda bisa melihat saya menjadi orang terakhir.
Ketika saya sedang jalan, sekitar delapan orang datang dan memegang saya. Saya sulit keluar dari kerumunan, dan saya mulai ketakutan.”
Arema KanjuruhanGetty Images
Maringa akhirnya bisa melepaskan diri, dan langsung menuju kamar ganti pemain.
Pria berusia 32 tahun asal Brasil ini kemudian melihat polisi berusaha mencegah massa masuk ke dalam kamar ganti pemain.
“Setelah kami masuk, kebiadaban mulai terjadi. Polisi berusaha menahan, tapi tidak bisa, karena jumlah massa lebih banyak.
Mereka lalu menginjak dua orang polisi, yang akhirnya meninggal dunia. Kemudian terdengar suara letupan, kebiadaban lainnya pun terjadi,” beber Maringa.
“Kami ada di kamar ganti selama lima atau enam jam, dan kami tidak tahu apa yang terjadi.
Hanya terdengar teriakan dan suara letupan. Kami ketakutan, karena merasa nyawa kami terancam. Kami hanya bisa berpikir.
‘Mereka akan masuk ke sini (kamar ganti), dan membunuh semua orang yang ada di dalamnya.”
“Tiba-tiba beberapa orang membawa korban yang sudah sekarat karena menghirup asap gas air mata. Mereka meninggal di dalam ruang ganti.
Ketika saya melihat itu, saya putus asa. Saya berkata: ‘Ya Tuhan, saya akan kehilangan nyawa saya dalam sekejap dari permainan sepakbola.”
Arema KanjuruhanGetty Images
“Kami meninggalkan stadion pada pukul 04:00, serta melihat bencana di dalam dan luar lapangan.
Saya tidak pernah melihat hal seperti ini, orang-orang terbunuh seperti binatang.”
Maringa mengaku trauma dari tragedi ini akan sulit dilupakan. Maringa kini hanya bisa menunggu mengenai keputusan yang mungkin diambil FIFA terkait kejadian itu.
Arema pun sudah dilarang menggelar pertandingan di Kanjuruhan oleh PSSI dan pemerintah.
“Kami sudah tidak ada gairah lagi untuk bermain sepakbola. Kami merasa takut. FIFA harus mengambil tindakan.
Kami masih menunggu komentar FIFA tentang Arema, liga, dan semuanya,” imbuh Maringa.
“Satu hal yang pasti, tidak ada laga pertandingan tim di kota ini (Malang). Ini sudah diputuskan oleh pemerintah. Sekarang kami menunggu langkah dari FIFA.
Arfaiz / posb